Competitions
David Coote, wasit Premier League dengan pengalaman lebih dari satu dekade, harus menghadapi kenyataan pahit setelah dikeluarkan dari PGMOL pada Desember 2024 akibat dua skandal besar. Di balik karier gemilangnya, Coote selama ini berjuang menyembunyikan identitas seksualnya karena takut diskriminasi di dunia sepak bola.
David Coote adalah nama yang tidak asing bagi para penggemar Premier League. Sebagai wasit profesional selama lebih dari satu dekade, ia memimpin lebih dari 100 pertandingan di kasta tertinggi sepak bola Inggris. Namun, di balik kesuksesannya, ada pergulatan besar yang selama ini ia sembunyikan identitas seksualnya.
Pada Desember 2024, Coote dikeluarkan dari organisasi wasit profesional PGMOL setelah terlibat dalam dua skandal besar. Video yang memperlihatkan dirinya menghina mantan pelatih Liverpool, Jurgen Klopp, serta rekaman saat ia menggunakan kokain di ajang Euro 2024 menjadi pukulan telak bagi kariernya. PGMOL menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap kontrak yang mengharuskan seorang wasit menjunjung tinggi profesionalisme.
Dalam sebuah wawancara, Coote mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada publik. "Saya tidak sadar dalam video itu. Saya minta maaf kepada siapa pun yang merasa tersinggung," ungkapnya. Meski demikian, ia menegaskan bahwa tekanan besar sebagai wasit dan perjuangannya dalam menyembunyikan identitas seksualnya menjadi akar dari semua permasalahan yang ia hadapi.
Sejak remaja, Coote merasa harus menyembunyikan orientasi seksualnya karena takut mendapatkan diskriminasi di dunia sepak bola. Ia baru berani terbuka kepada keluarganya di usia 21 tahun dan kepada teman-temannya di usia 25 tahun. Namun, di lingkungan profesionalnya sebagai wasit, ia tetap merahasiakan identitasnya selama lebih dari dua dekade.
"Menyembunyikan emosi sebagai wasit muda dan orientasi seksual saya adalah kualitas baik untuk wasit, tapi buruk sebagai manusia," ungkapnya dalam sebuah wawancara dengan The Sun.
Coote merasa jika publik mengetahui orientasi seksualnya, ia akan menjadi sasaran lebih banyak pelecehan. "Saya sudah sering menerima cacian kasar sebagai wasit. Jika orientasi seksual saya terbuka, situasi pasti lebih parah," katanya. Ketakutan ini membuatnya terus berpura-pura, meskipun tekanan yang ia rasakan semakin berat.
Menjadi wasit di level tertinggi bukanlah tugas yang mudah. Selain jadwal yang padat, tekanan dari pemain, pelatih, dan suporter membuat seorang wasit harus memiliki mental baja. Bagi Coote, tekanan ini semakin diperparah dengan tragedi pribadi, seperti kematian ibunya pada tahun 2023. Semua faktor ini membuatnya terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkoba.
Menurutnya, pengenalan teknologi VAR dan kebutuhan enam ofisial dalam setiap pertandingan semakin menambah beban kerja para wasit. "Setelah COVID dan VAR, tidak ada kesempatan berhenti. Saya mencari pelarian," ungkapnya.
Kokain menjadi caranya untuk mengatasi tekanan yang terus menumpuk. "Ini mengisi saya dengan rasa malu, tapi saat itu, saya pikir itu satu-satunya cara menghindari stres," ujarnya. Ia juga mengaku bahwa dalam video penghinaan terhadap Klopp, ia berada dalam kondisi tidak sadar akibat pengaruh obat-obatan.
David Coote bukan hanya menghadapi tekanan di lapangan, tetapi juga di luar lapangan. Ancaman kematian sering ia terima, bahkan keluarganya turut menjadi sasaran. "Saya pernah dipasangi tag respons cepat di rumah untuk memanggil polisi darurat," ceritanya.
Pelecehan dari tribun dan media sosial juga berdampak buruk pada kondisi mentalnya. Ia sering menerima pesan kebencian dari suporter yang mengharapkan ia "celaka dalam perjalanan pulang." Kritik tajam terhadap keputusan wasit dalam pertandingan juga tidak pernah berhenti, memperburuk rasa stres yang ia alami.
"Setiap wasit adalah manusia. Mereka mungkin tidak menunjukkan perasaan, tapi cacian pasti berdampak," katanya. Tekanan ini semakin membebani pikirannya, terutama karena ia juga harus berjuang menyembunyikan identitas seksualnya.
Meski mengakui kesalahannya, Coote berharap kisahnya dapat menjadi pelajaran bagi dunia sepak bola, terutama dalam hal kesehatan mental bagi para ofisial pertandingan. Setelah menjalani terapi, ia berhasil berhenti menggunakan narkoba, tetapi rasa malu dan tekanan sosial masih menghantuinya.
"Bagi siapa pun yang mengalami tekanan serupa, carilah bantuan. Jangan menahannya seperti saya," pesannya.
Kisah Coote juga menyoroti dua masalah besar yang masih dihadapi dunia sepak bola:
Dengan keberaniannya untuk terbuka tentang identitas seksualnya, Coote berharap dunia sepak bola menjadi lebih inklusif dan menerima keberagaman.
Kisah David Coote bukan hanya tentang skandal seorang wasit, tetapi juga gambaran tentang bagaimana tekanan ekstrem dan ketakutan akan diskriminasi dapat menghancurkan kehidupan seseorang. Sementara ia harus bertanggung jawab atas pelanggaran yang telah ia lakukan, pengakuannya membuka dialog penting tentang pentingnya kesehatan mental, dan perlunya perubahan dalam budaya sepak bola agar memberi kenyamanan bagi setiap individu. Ikuti terus berita sepak bola terbaru yang tentunya paling hits hanya di ShotsGoal!