Competitions
Manchester United, salah satu klub sepak bola paling bersejarah di dunia, kini berada di persimpangan jalan. Laporan keuangan terbaru menunjukkan gambaran suram tentang klub yang berjuang untuk menyelaraskan kejayaan masa lalu dengan masa depan yang semakin tidak pasti.
Dalam satu dekade terakhir, serangkaian kesalahan baik di dalam maupun di luar lapangan telah menyebabkan penurunan pendapatan yang signifikan, meningkatnya utang, serta ketidakpuasan yang semakin besar di kalangan penggemar.
Laporan keuangan Manchester United untuk kuartal terakhir 2024 menunjukkan penurunan pendapatan sebesar 12% dibandingkan periode yang sama di 2023. Total pendapatan klub turun dari £225,8 juta menjadi £198,7 juta, yang sebagian besar disebabkan oleh anjloknya pendapatan dari hak siar hingga 42%.
Hal ini terjadi karena Manchester United hanya bermain di UEFA Europa League, bukan di UEFA Champions League yang lebih menguntungkan, akibat finis di posisi kedelapan pada Liga Inggris musim 2023 24. Laba operasional klub juga mengalami penurunan drastis, dari £27,5 juta di 2023 menjadi hanya £3,1 juta.
Sementara itu, biaya keuangan bersih melonjak dari £300 ribu menjadi £37,6 juta akibat dampak buruk dari nilai tukar mata uang terhadap pinjaman dalam dolar AS yang tidak dilindungi nilai. Parahnya lagi, utang klub meningkat dari £506,6 juta menjadi £515,7 juta dalam periode yang sama.
Salah satu contoh paling mencolok dari salah kelola adalah kebijakan dalam menunjuk dan memecat manajer. Erik ten Hag, yang sebelumnya membawa Manchester United meraih gelar Piala FA dan lolos ke Liga Europa, dipecat pada Oktober 2024 setelah awal musim yang buruk.
Biaya pemecatan Ten Hag, staf kepelatihannya, serta mantan direktur olahraga Dan Ashworth mencapai £14,5 juta angka yang dimasukkan dalam laporan keuangan sebagai "biaya luar biasa".
Penggantinya, Ruben Amorim, didatangkan dari Sporting Lisbon dengan biaya tambahan sebesar £11 juta untuk menebus klausul pelepasannya. Namun, sejauh ini, Amorim belum mampu membawa perubahan signifikan, dengan Manchester United kini tertahan di posisi ke 15 klasemen Liga Inggris, hanya tiga peringkat di atas zona degradasi.
Krisis finansial ini bukanlah kejadian tunggal, melainkan dampak dari salah kelola yang telah berlangsung lebih dari satu dekade. Sejak pensiunnya Sir Alex Ferguson pada 2013, klub telah berkali kali mengganti manajer tanpa strategi jangka panjang yang jelas.
Keputusan transfer yang buruk menjadi pola yang berulang; misalnya, di era Ole Gunnar Solskjaer, United gagal merekrut talenta muda seperti Erling Haaland dan Jude Bellingham, sementara malah mengeluarkan dana besar untuk pemain yang tidak mampu memenuhi ekspektasi.
Kepemilikan klub di bawah keluarga Glazer juga menjadi sorotan tajam. Banyak kritik menyebut bahwa model pembelian klub mereka yang berbasis utang telah membebani Manchester United dengan kewajiban finansial yang tidak berkelanjutan, mengalihkan sumber daya yang seharusnya digunakan untuk pengembangan pemain dan perbaikan infrastruktur.
Masuknya Sir Jim Ratcliffe dan grup INEOS sebagai pemegang saham minoritas baru baru ini membawa langkah penghematan, termasuk pemutusan kerja lebih dari 250 staf dan kenaikan harga tiket, yang justru semakin membuat marah para penggemar.
Manchester United Supporters' Trust (MUST) secara terbuka mengungkapkan ketidakpuasan terhadap kondisi klub saat ini. Dalam pernyataan terbaru, MUST mengecam "beban bunga utang yang melemahkan" serta "lebih dari satu dekade salah kelola", sambil mendesak pemilik klub untuk membekukan harga tiket dan fokus mengembalikan daya saing klub.
Para suporter pun merencanakan aksi protes dalam pertandingan mendatang untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas dari manajemen.
Meski situasi terlihat suram, ada beberapa kabar positif. Pendapatan komersial meningkat 18,5% dibandingkan tahun sebelumnya, terutama berkat kesepakatan sponsor baru dengan Snapdragon. Pendapatan dari hari pertandingan juga naik 9% berkat tingginya permintaan tiket dan jumlah anggota klub yang mencapai rekor tertinggi.
Selain itu, CEO Omar Berrada memastikan bahwa proyek renovasi fasilitas latihan klub tetap berjalan sesuai rencana, yang menunjukkan adanya komitmen untuk perbaikan jangka panjang.
Namun, langkah langkah ini mungkin tidak cukup untuk mengatasi masalah struktural yang lebih besar. Klub kini berada di ambang pelanggaran regulasi Profit and Sustainability Rules (PSR) Liga Inggris, yang membatasi kerugian maksimal £105 juta dalam tiga tahun.
Dengan total kerugian melebihi £370 juta dalam lima tahun terakhir (di luar kategori pengecualian), langkah cepat diperlukan untuk menstabilkan keuangan dan membangun kembali kepercayaan para pemangku kepentingan.
Krisis yang dialami Manchester United saat ini adalah pelajaran bagi klub sepak bola di seluruh dunia. Bertahun tahun salah kelola dan keputusan jangka pendek telah merusak daya saing klub serta menjauhkan para penggemar. Meski ada secercah harapan di sektor komersial, besarnya utang dan buruknya performa tim di lapangan tetap menjadi bayang bayang yang sulit diabaikan.
Saat para penggemar bersiap untuk menyuarakan protes, satu hal yang pasti Manchester United tidak bisa lagi mengulang satu dekade seperti ini. Baik melalui perubahan kepemilikan atau perombakan total strategi operasional, tindakan nyata harus segera diambil untuk mengembalikan kejayaan klub ini.
Jika tidak, Manchester United akan terus menjadi raksasa yang terbebani oleh kesalahan masa lalu sebuah kenyataan pahit bagi salah satu institusi sepak bola terbesar di dunia. Ikuti terus perkembangan terbaru seputar Manchester United dan dunia sepak bola hanya di ShotsGoal!