Competitions
Salah satu klub terbesar di Ukraina, Shakhtar Donetsk, secara terbuka mengkritik FIFA karena dianggap gagal memberikan dukungan yang memadai selama masa krisis. Menurut pihak klub, kebijakan FIFA justru memperburuk kondisi keuangan mereka dan melemahkan ketahanan sepak bola Ukraina di tengah perang.
Shakhtar Donetsk, klub yang telah meraih 13 gelar liga domestik, terpaksa mengungsi sejak 2014 akibat konflik di wilayah Donbas. Situasi semakin memburuk dengan invasi skala penuh Rusia pada 2022, memaksa klub berpindah markas ke Kyiv, jauh dari basis aslinya di Donetsk.
Selain Shakhtar, banyak klub Ukraina lainnya mengalami nasib serupa, bahkan beberapa terpaksa bubar karena kehancuran infrastruktur dan kesulitan keuangan.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Shakhtar masih mampu berkompetisi di tingkat internasional, termasuk di Liga Champions UEFA. Namun, stabilitas finansial mereka terguncang akibat kebijakan transfer darurat yang diterapkan FIFA.
Pada Juni 2022, FIFA mengeluarkan aturan yang memungkinkan pemain dan pelatih asing di klub Ukraina untuk menangguhkan kontrak mereka dan bergabung dengan klub lain tanpa biaya transfer. Kebijakan ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum bagi para pemain di tengah perang.
Namun, Shakhtar menilai aturan ini justru merugikan klub-klub Ukraina. CEO Shakhtar, Sergei Palkin, mengungkapkan bahwa klubnya kehilangan sekitar â¬50 juta (Rp847 miliar) dalam potensi pendapatan transfer karena para pemain berharga seperti Manor Solomon dan Tete hengkang tanpa kompensasi. Padahal, dana tersebut sangat dibutuhkan untuk menutupi utang dan menjaga kelangsungan klub.
Palkin juga menuding FIFA tidak melibatkan klub-klub Ukraina dalam pengambilan keputusan. "Kami mencoba berdiskusi dengan departemen hukum FIFA untuk mencari solusi bersama, tetapi mereka mengabaikan kami. Mereka lebih memilih berkonsultasi dengan organisasi seperti World Leagues Forum, tetapi tidak dengan klub atau Liga Premier Ukraina," ujarnya.
Merasa dirugikan, Shakhtar membawa kasus ini ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) dengan tuntutan ganti rugi atas kerugian finansial yang dialami. Klub berargumen bahwa kebijakan FIFA melanggar hukum persaingan Uni Eropa dan prinsip tata kelola yang baik.
Namun, CAS menolak gugatan tersebut dan menyatakan bahwa keputusan FIFA sah secara hukum berdasarkan hukum Swiss. Pengadilan mengakui dampak negatif terhadap klub-klub Ukraina, tetapi menilai kebijakan FIFA bertujuan untuk melindungi hak dan keselamatan pemain di masa perang.
Kasus ini mencerminkan tantangan yang lebih besar bagi sepak bola Ukraina di masa perang. Sejak invasi Rusia, setidaknya 343 fasilitas olahraga, termasuk stadion sepak bola, hancur atau rusak. Beberapa klub, seperti FC Mariupol, terpaksa bubar karena kehilangan infrastruktur dan kesulitan finansial.
Meski demikian, sepak bola Ukraina tetap menunjukkan ketahanan luar biasa. Liga Premier Ukraina tetap bergulir meskipun dalam kondisi darurat militer, dengan pertandingan digelar tanpa penonton hingga akhir 2024 demi alasan keamanan. Klub-klub besar seperti Shakhtar Donetsk dan Dynamo Kyiv juga mengadakan laga amal di luar negeri untuk menggalang dana bagi bantuan kemanusiaan dan meningkatkan kesadaran dunia tentang kondisi Ukraina.
Di tengah perang yang masih berlangsung, komunitas sepak bola Ukraina terus berjuang untuk bertahan. Meskipun niat FIFA mungkin baik, implementasi kebijakan mereka justru memicu pertanyaan tentang keadilan dan inklusivitas dalam tata kelola sepak bola global.
Perjuangan Shakhtar Donetsk melawan FIFA mencerminkan isu yang lebih luas: bagaimana organisasi internasional dapat memberikan dukungan yang lebih adil bagi negara-negara yang tengah mengalami krisis. Sepak bola Ukraina tetap menjadi simbol ketahanan dan harapan menunjukkan bahwa bahkan di tengah kegelapan, semangat untuk bertahan dan berkembang tetap menyala.
Ikuti terus berita terbaru seputar sepak bola Ukraina hanya di ShotsGoal!